Banjirnya Jakarta Di Awal Tahun

Banjirnya Jakarta Di Awal Tahun – Banjir memang selalu menjadi langganan bencana yang melanda DKI Jakarta dan sekitarnya. Terakhir, banjir Jakarta kembali terjadi akibat curah hujan tinggi yang terjadi pada malam pergantian tahun tepatnya tanggal 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020. –

Bencana banjir Jakarta lantas juga menjadi mementum memantau kebijakan pemerintahan Gubernur DKI Jakarta untuk mengatasi persoalan banjir Jakarta yang berkepanjangan.

Pada banjir Jakarta tahun ini mencuat perbincangan di tengah masyarakat yang membuat perbandingan cara menangani banjir di era Gubernur DKI Jakarta saat ini Anies Baswedan dengan Gubernur DKI terdahulu Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. sbobet asia

Banjirnya Jakarta Di Awal Tahun

Hal ini terkait dengan cara dan gaya kedua tokoh ini dalam menangani banjir Jakarta. Selain itu, kebijakan Naturalisasi Anies dan kebijakan Normalisasi Ahok menjadi istilah unik yang sering dilontarkan bila ditanyai solusi untuk atasi banjir. slot99

Lalu, apa perbedaan normalisasi ala Ahok dengan naturalisasi versi Anies? Berikut ulasan selengkapnya: slot77

Banjir yang mengenangi Jakarta pada 2015 silam juga disebabkan oleh hujan yang kala itu mengguyur Jakarta hingga membuat sejumlah wilayah Jakarta terendam banjir. hari88

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang ketika itu menjabat Gubernur DKI Jakarta memberi perhatian penuh.

Banjirnya Jakarta Di Awal Tahun

Ahok hadir dengan menawarkan kebijakan normalisasi terhadap seluruh sungai dan waduk yang kala itu digadang-gadang dapat menyelesaikan masalah banjir yang kerap melanda Jakarta.

Normalisasi sungai dilakukan dengan memperdalam sungai dan membangun tanggul dinding sehingga dapat lebih menampung air kiriman yang selama ini datang dari Bendungan Katulampa, Bogor, Jawa Barat.

Menurut Ahok, air di sungai maupun waduk dapat meluap apabila hujan terus mengguyur. Terlebih, apabila sungai dan waduk yang berfungsi sebagai tampungan air, sehingga daya tampungnya berkurang akibat banyaknya bangunan yang berdiri di atasnya atau di pinggirannya.

Banjir yang terjadi di Jakarta awal tahun 2020 ini musti dilihat melalui dua peristiwa, yakni, banjir yang diakibatkan oleh hujan lokal yang tidak mampu diserap oleh tanah maupun dialirkan ke sungai-sungai di Jakarta dan banjir kiriman dari Bogor. Dengan memilah masing-masing masalah maka akan jelas apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta.

“Jadi sebenarnya ini matematika sederhana saja. Jangan diperumit, malah membingungkan rakyat,” kata Guru Besar Hidrologi Fakultas Teknik UGM, Joko Sujono, saat menjawab wawancara di Yogyakarta, kemarin.

Hujan ekstrem yang terjadi di Jakarta pada Rabu (1/1) lalu, menurut laporan BMKG, tertinggi mencapai 377 milimeter per hari yang terekam di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Di TMII mencapai 335,2 mm, Jatiasih 259,6 mm, dan di semua tempat rata-rata di atas 200 mm per hari.

“Nah kalau angka rata-rata 200 bahkan lebih dari 300 mm itu besar sekali. Luas Jakarta 600 km2, kalikan saja 0,3 meter berarti ada berapa juta meter kubik air, nah lari kemana airnya kan di Jakarta ruang terbuka hijau tinggal sedikit sekali,” papar Joko.

Tiap 1 km2 sama dengan 1 juta m2. Luas Jakarta 600 km2 sama dengan 600 juta m2 dan dikalikan 0,3 m2 curah hujan hasilnya adalah 180 juta meter kubik air menghantam tanah Jakarta pada 1 Januari lalu.

Ruang terbuka hijau di Jakarta saat ini tinggal tersisa 9,9 persen artinya 90 persen air hujan tidak bisa terserap tanah dan akan langsung mengalir ke tempat-tempat rendah yang menghasilkan banjir di 300-an titik di Jakarta yang menewaskan 30-an orang dan lebih dari 30 ribu jiwa mengungsi.

“Dan tanah di Jakarta itu lihat, kemampuan meresapkan airnya kecil,” terang Joko.

Di luar kondisi hujan ekstrem pada awal tahun ini, curah hujan di Jakarta pada tahun-tahun normal yakni sekitar 3500-4000 mm per tahun, menurut Joko sudah lebih besar 2 kali lipat dari Yogya. Padahal, tanah di Jakarta didominasi tanah liat yang kemampuan meresapkan airnya sangat kecil jika dibandingkan dengan Yogya yang tanahnya berupa tanah berpasir. Hal itu masih ditambah dengan masalah ruang terbuka hijau Jakarta yang sangat kecil jika dibandingkan dengan Yogya dan kota-kota lain di Indonesia.

Topografi Jakarta juga relatif datar dan rendah sehingga kecepatan aliran dari lahan terbuka ke sungai relatif kecil sehingga seluruh wilayah di Jakarta sesungguhnya sangat mudah tergenang.

“Itu semua belum ditambah dengan 13 sungai yang melewati Jakarta yang membawa air dari Bogor, Puncak, Cianjur. Tapi tanpa menghitung limpahan dari Bopunjur, dengan curah hujan tinggi ya pasti banjir lokal sudah terjadi,” jelas Joko.

Jika mengkalkulasi tambahan debit air dari aliran Ciliwung saja, dengan volume total Kali Ciliwung dari pintu air Katulampa hingga hulu yang diperkirakan sebesar 400 km2, dengan curah hujan 200 mm per hari saja maka akan ada tambahan limpahan sebesar 80 juta m kubik air.

“Tapi ingat butuh waktu 13 jam air dari hulu Ciliwung memasuki Jakarta. Dan kalau banjir kiriman yang terdampak ya sekitar Ciliwung saja, seperti Kampung Melayu dan sekitarnya itu. Nah banjir awal tahun ini kan skalanya lebih luas lagi,” jelas Joko Sujono yang mendapat gelar Guru Besar pada 2015 ini.

Menurut Joko, untuk menangani banjir Jakarta, mau tidak mau, harus membenahi tata ruang di Jakarta dan juga di hulu. Semua harus dilakukan secara integral dan bekerja sama. Mau langkah apa pun yang diambil, normalisasi atau naturalisasi, yang jelas air hujan di Jakarta harus dikendalikan.

Ambisi Presiden Joko Widodo memindahkan Ibu Kota negara ke Kalimantan Timur, tak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, ada banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan, termasuk di daerah bekas Ibu Kota, yakni Jakarta. Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan, menyebut alasan ibu kota pindah karena beban dan masalah yang besar di Jakarta, bukan berarti mengabaikan masalah itu.

“Apakah persoalan utama Jakarta itu akan terselesaikan atau tidak. Dalam arti kata misalnya banjir, sepuluh juta rakyat Indonesia yang ada di Jakarta, termarjinalkan misalkan, itu bagaimana nasibnya?” kata Syarief di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/1).

“Apakah (penanganan) banjir yang kemudian diperlukan biaya yang begitu besar apakah akan tetap dilakukan atau tidak,” sambungnya

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu memprediksi Jakarta walaupun tak lagi menjadi Ibu Kota negara, akan menjadi pusat bisnis.

“Bagaimana statusnya Jakarta, tetapi yang jelas kelihatannya akan menjadi pusat bisnis,” tuturnya.

Lebih lanjut, soal nantinya kab/kota di Jakarta akan ikut Pilkada dan memiliki DPRD sendiri, Syarief enggan berandai-andai. Sebab, prosesnya (di DPR) dijelaskan dia, tidaklah mudah.

ahun belum tentu pindah. Prolegnas itu masuk boleh boleh saja tetapi kita lihat perkembangannya nanti,” tandasnya.

Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR Fraksi Gerindra Kamrussamad mengatakan, setidaknya ada tiga UU yang mesti direvisi untuk Jakarta setelah tak jadi ibu kota.